Minggu lalu, pada 17 Februari 2025, ribuan pengemudi ojek online (ojol) melakukan demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia. Pusat aksi berada di depan kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) di Jakarta, dengan tuntutan utama agar pemerintah mendesak perusahaan aplikasi untuk memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para pengemudi.
Aksi serupa juga terjadi di Sukabumi, Dumai, Pontianak, dan Pangkal Pinang, di mana para pengemudi kompak melakukan “off bid” sebagai bentuk protes.
Fleksibilitas atau Kewajiban?
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, menilai skema kemitraan antara platform ojek online dan pengemudi hanyalah dalih untuk menghindari tanggung jawab kesejahteraan pengemudi.
“Fleksibilitas dalam kemitraan hanya dalih platform untuk menghindari tanggung jawab terhadap kesejahteraan pengemudi. Sementara bisnis platform menikmati keuntungan besar, para pengemudi justru terjebak dalam kondisi kerja yang tidak pasti dengan penghasilan yang rendah dan tidak menentu,” ujar Lily kepada CNBC Indonesia (16/2/2025).
Model kemitraan ini memang memungkinkan pengemudi untuk bekerja secara fleksibel. Namun, status “mitra” juga berarti mereka tidak mendapat hak-hak pekerja formal, seperti upah minimum, jaminan sosial, dan THR.
Di berbagai negara, model bisnis ini telah menjadi polemik. Inggris, Swiss, Belanda, hingga Spanyol telah mengeluarkan kebijakan yang menempatkan pengemudi sebagai karyawan dengan hak penuh, bukan sekadar mitra.
Potensi preseden buruk bagi iklim investasi?